Morning vs Night Person: Mana yang Lebih Baik? 0

Morning vs Night Person: Mana yang Lebih Baik?

Setiap orang memiliki ritme dan kebiasaan yang berbeda dalam menjalani hari-harinya. Ada yang merasa lebih produktif di pagi hari, sementara yang lain lebih aktif di malam hari. Fenomena ini sering kali dibagi menjadi dua…

Red String of Fate 0

Red String of Fate

Dalam kisah-kisah lama dari Timur, ada sebuah legenda yang hingga kini masih memikat banyak orang di berbagai belahan dunia. Red String of Fate atau dalam bahasa Indonesia disebut Benang Merah Takdir. Konsep ini berasal…

Urban Farming: Solusi Mandiri di Tengah Kota 0

Urban Farming: Solusi Mandiri di Tengah Kota

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota yang serba cepat dan padat, muncul sebuah tren yang perlahan mengubah wajah perkotaan: urban farming. Konsep bercocok tanam di area perkotaan ini bukan sekadar hobi, melainkan solusi cerdas untuk…

Digital Detox: Apa Gunanya Jauh dari Gadget? 0

Digital Detox: Apa Gunanya Jauh dari Gadget?

Di era digital saat ini, gadget telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari kita. Dari bangun tidur hingga tidur kembali, kita sering kali terhubung dengan perangkat elektronik, baik itu smartphone, tablet, atau laptop….

Bulan Agustus selalu membawa nuansa istimewa di seluruh penjuru Indonesia. Merah putih berkibar gagah di depan rumah, kantor, sekolah, dan jalan-jalan umum. Lagu-lagu perjuangan mulai terdengar di radio dan pusat perbelanjaan. Semua menandakan satu hal: semangat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang kembali membara. Namun, tahun ini, ada yang sedikit berbeda. Di tengah gegap gempita persiapan HUT RI ke-80, tiba-tiba publik dihebohkan oleh hadirnya bendera yang tidak biasa—bendera bajak laut dari anime One Piece, lengkap dengan simbol tengkorak bertopi jerami, berkibar berdampingan (atau bahkan menggantikan) sang Merah Putih. Fenomena ini memicu reaksi beragam. Ada yang menganggapnya sebagai bentuk kreativitas anak muda, ada pula yang menyayangkan dan menyebutnya tidak pantas, bahkan mengarah ke tindakan yang melanggar hukum. Lantas, apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa bendera fiksi ini bisa mencuri perhatian begitu besar menjelang hari paling bersejarah bagi bangsa Indonesia? Dari Dunia Fiksi ke Dunia Nyata Bendera bajak laut dari One Piece, yang dikenal sebagai Jolly Roger Topi Jerami, bukan sekadar lambang kelompok fiktif. Dalam dunia anime karya Eiichiro Oda, bendera ini adalah simbol kebebasan, mimpi, dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Karakter utamanya, Monkey D. Luffy, dikenal sebagai sosok yang menentang otoritas korup dan memperjuangkan keadilan—meski dengan caranya sendiri. Menariknya, filosofi ini ternyata selaras dengan keresahan yang dirasakan sebagian masyarakat, khususnya generasi muda. Dalam konteks Indonesia, mereka melihat bendera Luffy sebagai simbol yang “berbicara” lebih bebas daripada simbol-simbol formal negara. Ia menjadi medium untuk menyuarakan kritik, sindiran, atau bahkan harapan terhadap arah bangsa saat ini. Fenomena di Lapangan Di media sosial, terutama TikTok, X (Twitter), dan Instagram, mulai beredar foto dan video warga yang mengibarkan bendera One Piece di rumah, warung, atau bahkan saat konvoi kemerdekaan. Beberapa bahkan sengaja mengganti bendera Merah Putih dengan Jolly Roger, memancing respons tajam dari berbagai pihak. Beberapa netizen menyebut aksi ini sebagai satire terhadap realitas sosial-politik Indonesia. Dalam komentar-komentar yang viral, banyak yang menyindir keadaan negara dengan kalimat seperti “negara sudah kayak dunia bajak laut, jadi ya sekalian saja kibarkan benderanya.” Di sisi lain, tak sedikit pula yang menyebut ini sebagai bentuk disrespect terhadap perjuangan pahlawan dan simbol negara. Di beberapa wilayah, bendera One Piece bahkan dijumpai dalam bentuk mural di dinding gang, dicetak di stiker motor, hingga dipasang berdampingan dengan Merah Putih di depan warung. Fenomena ini tak hanya viral di media sosial, tetapi juga menyebar secara nyata di ruang-ruang publik yang sebelumnya jarang disentuh oleh diskusi semacam ini. Reaksi Pemerintah dan Tokoh Publik Fenomena ini tak luput dari perhatian pejabat negara dan tokoh politik. Menko Polhukam menilai bahwa pengibaran bendera selain Merah Putih, apalagi jika menggantikan posisi resmi bendera negara, bisa dikategorikan sebagai pelanggaran Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad juga menyatakan bahwa pengibaran simbol fiksi dalam konteks hari kemerdekaan bisa dianggap merusak kekhidmatan upacara dan momen nasional. Sementara itu, beberapa politikus dari Partai Demokrat dan Gerindra menegaskan bahwa simbol negara tidak boleh diganti atau diparodikan, apa pun alasannya. Namun, di sisi lain, Komnas HAM menyatakan bahwa pengibaran atribut budaya pop seperti bendera One Piece, selama tidak menggantikan Merah Putih secara resmi, bisa dilindungi sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Mereka mengingatkan bahwa ekspresi budaya dan kritik sosial adalah bagian penting dari demokrasi. Apakah Ini Bentuk Perlawanan Simbolik? Secara sosiologis, penggunaan simbol dalam budaya populer sering kali mencerminkan perasaan kolektif masyarakat terhadap kondisi sosial mereka. Bendera bajak laut One Piece bisa dimaknai sebagai bentuk perlawanan simbolik terhadap sistem yang dirasa tidak mewakili aspirasi rakyat. Dalam One Piece, Luffy menolak tunduk pada Pemerintah Dunia yang penuh kebusukan. Banyak yang melihat paralel ini dalam konteks Indonesia hari ini. Generasi muda, terutama Gen Z, punya kecenderungan mengekspresikan kritik sosial melalui media kreatif—memes, cosplay, video pendek, dan simbol budaya pop. Mereka mungkin tidak turun ke jalan seperti generasi ’98, tetapi mereka “berteriak” lewat media sosial dan simbol-simbol fiksi yang mereka cintai. Di Mana Batasnya? Tentu saja, penting untuk membedakan antara kritik dan pelanggaran hukum. Mengibarkan bendera One Piece sebagai bentuk ekspresi di ruang pribadi atau komunitas mungkin sah-sah saja. Tapi ketika itu dilakukan di tempat umum, menggantikan posisi bendera Merah Putih, atau dilakukan saat upacara resmi negara, maka ini bisa masuk wilayah pelanggaran simbol negara. Di sinilah peran edukasi publik menjadi penting. Menjelaskan bahwa Merah Putih bukan sekadar kain dua warna, tapi lambang harga diri bangsa, adalah kunci untuk menjaga makna sakralnya tetap utuh—tanpa mematikan ruang berekspresi anak muda. Penutup Fenomena ini juga bisa jadi cermin bagaimana generasi muda hari ini memaknai nasionalisme dengan cara yang berbeda. Mereka tidak lagi hanya menghafal nama-nama pahlawan atau mengikuti upacara dengan kaku, tapi mencoba meresapi makna perjuangan lewat simbol-simbol yang lebih dekat dengan keseharian mereka—termasuk melalui budaya pop seperti anime, game, dan film. Dalam hal ini, One Piece menjadi salah satu media yang mampu menyampaikan semangat perlawanan dan impian dalam bahasa yang dimengerti oleh jutaan anak muda Indonesia. Tentu saja, bukan berarti semua bentuk ekspresi harus dilegalkan begitu saja. Tetap perlu ada batas dan penghormatan terhadap simbol negara. Tapi, kita juga perlu memahami bahwa anak muda saat ini hidup di era digital yang sarat akan simbol visual dan narasi fiksi yang membentuk cara pandang mereka terhadap dunia nyata. Daripada terus mengutuk, mungkin kita perlu membuka ruang dialog. Mengapa mereka merasa lebih terhubung dengan simbol bajak laut daripada simbol kenegaraan? Apa yang bisa dilakukan agar Merah Putih bukan hanya berkibar secara fisik, tetapi juga di hati mereka? Sebagai bangsa yang terus tumbuh dan belajar, kita tidak bisa mengabaikan suara generasi penerus. Bendera One Piece mungkin hanya simbol fiksi, tapi pesan di baliknya bisa sangat nyata bahwa masih ada hal-hal yang ingin diperjuangkan, mimpi yang ingin dikejar, dan ketidakadilan yang ingin dilawan. Peringatan kemerdekaan seharusnya menjadi momentum untuk menyatukan, bukan memecah. Simbol boleh berbeda, ekspresi bisa bervariasi, tapi nilai dasarnya tetap sama: kebebasan, keberanian, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Merah Putih tetap menjadi lambang utama bangsa, tapi bukan berarti tidak ada ruang bagi simbol lain yang membawa semangat serupa. Karena di dunia nyata, seperti halnya di dunia One Piece, kemerdekaan bukan tujuan akhir—melainkan awal dari perjalanan panjang menuju keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan bersama. 0

Startup Edtech dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia

Dalam perkembangan era digital yang pesat, teknologi kini telah menyentuh hampir seluruh bidang kehidupan, tak terkecuali dunia pendidikan. Salah satu inovasi yang muncul dari perkembangan teknologi adalah startup edtech (educational technology) yang berfokus pada…